"Kepemimpinan strategik itu tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap jihad santri-preneur karena kepemimpinan strategik itu menggunakan simbol birokrasi, sedangkan santri menggunakan simbol agama sehingga tidak ada titik temu," kata Dr. Drs. K.H. Muhammad Zakki, M.Si. dalam ujian terbuka di UKWMS, Sabtu.
Dalam ujian yang diikuti Sekjen Kemenag RI Prof. Nur Syam, M.Si. dan staf ahli Kemendag RI itu, pengasuh Pesantren Mukmin Mandiri Sidoarjo yang meraih predikat "cumlaude" itu mengaku saat ini ada pergeseran orientasi pesantren dari salaf (kitab kuning) ke kholaf (modern/iptek).
"Akan tetapi, sekarang juga berkembang ke pesantren entrepreneurship yang mendorong ketrampilan dan karakter mandiri. Bedanya, pesantren salaf dan kholaf itu masih 75 persen pendidikan, sedangkan pesantren entrepreneurship justru 75 persen keterampilan," katanya.
Menurut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya itu, pesantren entrepreneur tercatat 40-an unit dari ribuan pesantren di Jatim dengan empat di antaranya dijadikan objek penelitian dalam disertasinya itu tetap mengajarkan masalah agama.
"Pengajaran agama yang diajarkan tidak berhenti pada masalah fiqih (hukum agama), tetapi mengarah ke tijaroh (perdagangan). Agama itu yang diajarkan itu kaffah (sempurna) dari iman, syariah, etika sosial, hidup sederhana, dan jihad-preneur untuk menjadi mujahid ekonomi," katanya.
Doktor ke-17 di Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana UKWMS itu mengatakan bahwa jihad adalah berusaha/berjuang dengan sungguh-sungguh karena itu makna jihad itu bukan kekerasan atau teror, melainkan kesungguhan dalam seluruh aspek kehidupan.
"Konsep keberagamaan yang jarang diungkap adalah bekerja itu juga ibadah karena ibadah bukan cuma salat. Tidak banyak yang tahu Imam Syafii itu pedagang botol dan Syeikh Abdul Qadir Jaelani itu peternak kuda. Jadi, salat itu ibadah, tetapi bekerja juga ibadah," katanya.
Ditanya faktor penentu pesantren entrepreneur, dia menyebutkan ada dua, yakni kiai-preneur dan santri-preneur. Namun, faktor paling menentukan adalah kiai-preneur karena kiai memiliki posisi sentral dalam pesantren.
"Oleh karena itu, kiai juga harus berubah, bukan hanya dimintai nama anak oleh seorang ibu, diminta mengobati sakit, ditanya solusi masalah keluarga, tetapi kiai sudah waktunya memiliki wibawa spiritual sekaligus wibawa ekonomi," katanya.
Tentang kemungkinan pesantren entrepreneur akan menjadi gerakan kapitalisasi pesantren, dia mengatakan bahwa hal itu akan dapat dicegah bila konsep ekonomi diberi nilai-nilai spiritual, di antaranya ekonomi itu bukan soal materi semata, melainkan ibadah, apalagi Allah juga lebih suka mukmin yang "kuat" (ekonomi).
"Sebagai pendiri pesantren agrobisnis yang sekarang memproduksi kopi berkualitas ekspor itu, kami serius dengan konsep pesantren entrepreneur, bahkan kami sudah menggagas konsep one pesantren one product untuk Kemenag, Kemenkop, dan Kemendag. Kalau itu terwujud, ekonomi kerakyatan akan berkembang," katanya.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 Response to "Universitas Katolik WM Surabaya lahirkan doktor "jihad""
Posting Komentar